Image default
Dw

Inklusivitas Pemerintahan Pascakonflik Suriah Tanpa Kuota

Ilustrasi inklusivitas pemerintahan pascakonflik Suriah tanpa sistem kuota

Seruan Perubahan, Tantangan Baru

“Satu, sesuatu, sesuatu! Rakyat Suriah itu sesuatu!”
Teriakan yang menggema di jalanan Suriah lebih dari satu dekade lalu kini tetap relevan. Namun, inklusivitas pemerintahan pascakonflik Suriah masih jauh dari harapan rakyat.

Keberagaman Etnis dan Agama di Suriah

Sebelum konflik berkepanjangan, sekitar 68% warga Suriah merupakan Muslim Sunni. Minoritas lainnya termasuk Alawi (9–13%), Kurdi (8–10%), serta kelompok Druze, Kristen, Armenia, Turkmen, Palestina, Circassian, dan Yazidi.

Di bawah rezim Assad, keragaman ini justru dimanipulasi untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya dijadikan kekuatan bangsa.

Konstitusi Baru, Peluang Inklusivitas?

Setelah penggulingan rezim pada Desember lalu, banyak negara termasuk Uni Eropa mendesak inklusivitas pemerintahan pascakonflik Suriah sebelum mencabut sanksi.

Namun, rancangan konstitusi baru belum menyebut representasi minoritas secara eksplisit. Forum nasional seperti “Obrolan Nasional Suriah” juga masih minim partisipasi kelompok minoritas.

Ketimpangan Gender dan Dominasi Sunni

Menurut laporan Karam Shaar Advisory, dari 21 menteri dan 154 pejabat tinggi yang dilantik sejak Desember, mayoritas adalah pria Muslim Sunni. Minoritas hampir tidak terlihat dalam posisi kunci. Ini memperkuat ketimpangan dalam struktur kekuasaan saat ini.

Debat Sistem Kuota di Pemerintahan Baru

Apakah kuota adalah solusi untuk mewujudkan inklusivitas pemerintahan pascakonflik Suriah? Banyak warga menolak.

Alaa Sindian, Muslim Syiah, menyatakan:

“Saya tidak ingin kursi DPR hanya disediakan untuk Syiah, Alawi, atau kelompok sektarian lain. Pemerintah harus memilih individu kompeten dari komunitas minoritas.”

Shadi al-Dubisi, aktivis Druze, menambahkan:

“Saya menolak kuota sektarian. Saya mendukung pemerintahan teknokratis yang menilai berdasarkan kompetensi.”

Pelajaran dari Lebanon dan Irak: Kuota Bukan Solusi

Pengalaman Lebanon dan Irak menjadi contoh buruk sistem kuota. Di Lebanon, sistem berbasis sektarian berdasarkan Perjanjian Taif (1989) justru memperkuat fragmentasi dan korupsi. Irak pasca-2003 mengalami kebuntuan politik karena pembagian sektarian yang kaku.

Teknokrasi Inklusif: Alternatif Realistis?

Nour Mohsen, peneliti politik, menyebut:

“Konvensionalisme sektarian merusak pluralisme dan memperkuat loyalitas sektarian, bukan nasional.”

Pendekatan teknokratis yang berdasarkan meritokrasi dan keterwakilan fungsional bisa menjadi jalan keluar dari jebakan sektarianisme.

Langkah Strategis untuk Suriah Inklusif

Tidak ada formula tunggal untuk menciptakan inklusivitas pemerintahan pascakonflik Suriah. Namun, pendekatan berikut perlu diprioritaskan:

  • Menilai individu berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan asal-usul etnis atau agama.
  • Menolak sistem kuota yang terbukti gagal menciptakan stabilitas jangka panjang.
  • Memberi ruang aktual bagi minoritas untuk berpartisipasi dan memengaruhi kebijakan.

Related posts

Pembicaraan Nuklir AS-Iran: Gagal atau Maju?

Novadanti

Leave a Comment